Senin, 11 Februari 2013

Syaikhul Madzhab Syafi’iyah Menjelaskan Hukum Mentalqin Mayyit (Orang Mati) Setelah Pemakaman

Talqin dilakukan pada seorang muslim yang menjelang mati (sakaratul maut) dan juga setelah proses pemakaman mayyit. Namun, banyak yang masih mempertanyakan bagaimana hukum mentalqin mayyit setelah proses pemakaman. Pada dasarnya tidak perlu mempermasalahkan talqin yang telah masyhur di masyrakat Islam sebab apa yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat Islam hakikatnya ada karena diajarkan oleh ‘ulama atau para Imam kaum muslimin.



Terlepas dari semua itu, bagaimanakah hukumnya ? Imam yang kredibel dalam madzhab Syafi’i yakni Imam al-Hafidz Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i [w. 676 H], beliau juga merupakan ulama yang berkualitas al-Hujjah (Hujjatul Islam) dan lebih dikenal dengan Imam an-Nawawi telah menjelas secara gamblang terkait talqin sebagai berikut :



فرع : ويستحب أن يلقن الميت بعد الدفن، فيقال: يا عبد الله ابن أمة الله، اذكر ما خرجت عليه من الدنيا، شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وأن الجنة حق، وأن النار حق، وأن البعث حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأنك رضيت بالله ربا، وبالإسلام دينا، وبمحمد - صلى الله عليه وسلم - نبيا، وبالقرآن إماما، وبالكعبة قبلة، وبالمؤمنين إخوانا. ورد به الخبر عن النبي صلى الله عليه وسلم

sebuah cabang : disunnahkan supaya melakukan talqin mayyit setelah proses pemakaman, dengan mengucapkan : {“Wahai hamba Allah putra dari Amatillah (perempuan Allah), ingatlah engkau hal yang engkau keluar atasnya dari dunia, yakni ; persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, sesungguhnya surga adalah haq (benar), neraka itu haq, kebangkitan itu haq (benar), hari kiamat pasti datang tidak ada keraguan tentangnya, sesungguhnya Allah membangkitkan siapa saja didalam qubur, sesengguhnya engkau telah ridlo dengan Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam sebagai nabi, al-Qur’an sebagai panutan, ka’bah sebagai qiblat dan orang-orang yang berimana sebagai saudara”}, dan telah warid terkait khabar ini dari Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam.



قلت: هذا التلقين استحبه جماعات من أصحابنا، منهم: القاضي حسين، وصاحب (التتمة) والشيخ نصر المقدسي في كتابه (التهذيب) وغيرهم، ونقله القاضي حسين عن أصحابنا مطلقا. والحديث الوارد فيه ضعيف، لكن أحاديث الفضائل يتسامح فيها عند أهل العلم من المحدثين وغيرهم. وقد اعتضد هذا الحديث بشواهد من الأحاديث الصحيحة، كحديث (اسألوا الله له التثبيت) ووصية عمرو بن العاص (أقيموا عند قبري قدر ما تنحر جزور، ويقسم لحمها حتى أستأنس بكم، وأعلم ماذا أراجع به رسل ربي) رواه مسلم في (صحيحه) ولم يزل أهل الشام على العمل بهذا التلقين من العصر الأول، وفي زمن من يقتدى به. قال أصحابنا: ويقعد الملقن عند رأس القبر، وأما الطفل ونحوه، فلا يلقن. والله أعلم

“Qultu (aku –Imam an-Nawawi- berkata) : Inilah talqin yang dihukumi mustahab (disunnahkan) oleh jama’ah-jama’ah dari ashhab kami, antara lain : al-Qadli al-Husain, shahibut Tatimmah, Syaikh Nashr al-Maqdisi didalam kitabnya at-Tahdzib dan ulama-ulama lainnya. Al-Qadli Husain telah menukilnya dari ashhab kami (ulama syafi’iyah) secara mutlak, dan hadits yang warid tentang itu adalah dlaif akan tetapi hadits-hadits fadlail ditoleransi (tidak masalah kalau diamalkan) menurut ahlul ilmi dari kalangan Muhadditsin dan yang lainnya. Dan hadits ini (mengenai talqin) telah diperkukuh (diperkuat) dengan dengan persaksian hadits-hadits shahih, seperi hadits “Memohonlah kalian kepada Allah ketetapan untuknya”, dan wasiat sayyidina ‘Amr bin al-‘Ash “Tegakkanlah oleh kalian disamping kuburku sekadar menyembelih sembelihan, dan membagi-bagikan dagingnya sehingga aku bisa merasakan ketentraman dengan kalian, dan aku lebih mengetahui dengan apa akan aku kembalikan utusan-utusan Tuhanku (Malaikat Munkar - Nakir)”, diriwayatkan oleh Muslim didalam kitab shahihnya dan penduduk Syam tidak pernah meninggalkan atas amal talqin ini sejak masa awal Islam, dan pada zaman dimana orang-orang dijadikan panutan (pegangan). Ashhab kami berkata : “dan duduklah orang yang melakukan talqin (mulaqqin) disamping kubur, adapun ath-thifl (anak kecil) atau semisalnya tidak perlu di talqin”, wallahu a’lam.”



Jadi, amalan talqin ini memang telah menjadi amalan kaum Muslimin terutama diwilayah Syam sejak masa awal Islam. Maka, hendaknya tetap dimasyhurkan dan dibiasakan sebagaimana telah dilakukan diberbagai masyarakat Muslim didunia termasuk juga di Indonesia. Tidak perlu menghiraukan isu-isu baru yang dihembuskan beberapa sekte pemecah belah umat Islam terutama yang menjadi sasaran adalah madzhab Syafi’i disebab mayoritas masyarakat Islam di Indonesia adalah bermadzhab Syafi’i.



Wallahu A’lam. []



Sumber : Kitab Raudlatuth Thalibin wa ‘Umdatul Muftiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar