Senin, 11 Februari 2013

Detik-detik Terindah Menjelang Wafatnya Sayyid Muhamad bin Alawy Al Maliki Al Hasani

Anak Cucu NabiKisah ini dituturkan oleh Habib Hamid bin Zaid bin Muhsin bin Salim Al-Aththas dari
Indonesia saat terakhir kali bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki.
…. Hamid bi Zaid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul Mustafa dan telah menikah
dengan adik perempuan istri Sayyid Muhammad Al-Maliki. Seminggu sebelum Ramadhan 1425 H,
Habib Hamid menerima telepon dari Sayyid Muhammad Al-Maliki di Mekah dan memintanya supaya
datang ke Mekah untuk umrah dan menemuinya.
Habib Hamid memenuhi undangan tersebut dan bersama istrinya segera mempersiapkan segala
keperluan untuk keberangkatannya. Tiket dan visa sudah diurus oleh biro perjalanan yang ditunjuk
Abuya (panggilan hormat untuk Sayyid Muhammad Al-Maliki).
“Saya hanya mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya.” Kata Habib Hamid.
Hari kedua Ramadhan, ceritanya, Sayyid Muhamad Al-Maliki kembali meneleponnya. Beliau meminta
Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. “Kamu harus cepat menyelesaikan urusanmu,
segeralah terbang ke Mekah.” Kata Sayyid Muhammad Al-Maliki terkesan agak cemas. Hari keempat
Ramadhan, kembali beliau menelepon untuk memastikan Habib Hamid dan istrinya jadi berangkat.
“Ketika itu Abuya bilang agar saya langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam
Rasulullah saw dan shalat di Masjid Nabawi. Sekali lagi, saat itu, beliau meminta agar secepatnya
sampai di Mekah.”
Tepat pada 5 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid dan istri terbang menuju Madinah. Di bandar udara,
dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammad Al-Maliki dan membawanya ke hotel yang
telah disediakan. Dua hari di Madinah, kemudian terbang ke Mekah. “Saya sampai di Mekah pada
tanggal 8 Ramadhan dan langsung istirahat di hotel yang disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput
oleh Habib Isa bin Abdul Qadir, salah satu murid beliau untuk menemui orang yang paling saya
kagumi, Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani. Sungguh tegang dan jantung berdetak lebih keras
dari biasanya.
“Sore itu, seusai sholat Asar, Abuya menerima Habib Hamid di ruang kerjanya. “Beliau memelukku,
mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan muridnya di Indonesia, seperti Habib
Abdurrahman Assegaf ( Bukit Duri ), Habib Abdullah Al-Kaf, K.H Abdullah Faqih ( Langitan ) dan
ulama lainnya. Saya jawab semua baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan,
agar nanti berbuka puasa bersama dengannya.”
Ketika saat berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammad Al-Maliki menjemput Habib
Hamid. “Hamid, apa yang kau bawa dari Indonesia.” Tanya Abuya tiba-tiba, saat Habib Hamid masuk
ke ruang kerjanya.
“Saya membawa dodol durian kesukaan Abuya!” jawab Habib Hamid.
Wajah Sayyid Muhammad Al-Maliki tampak gembira sekali. Beliau langsung membagikan oleh-oleh
itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada disitu. Beliau juga langsung mencicipinya, kebetulan
saat buka puasa tiba.
“Ada titipan lagi buat saya?” tanya Abuya lagi.
“Ya, saya membawa buah mangga dan kelengkeng”
Dahi Abuya berkerut. “Kelengkeng? Buah apa itu ?” tanya beliau.
Habib Hamid menjelaskan buah kelengkeng dan meminta beliau mencobanya. “Abuya tampak suka
sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat isya” tutur Habib Hamid.
Malam itu, tepat malam tanggal 9 Ramadhan 1425 H, Habib berkesempatan shalat isya dan tarawih
berjamaah bersama Sayyid Muhammad Al-Maliki. Saat itu ikut berjamaah beberapa ulama dari Turki,
Mesir dan beberapa negara lain. Tiba-tiba Sayyid Muhamad Al-Maliky memanggil Habib Hamid.
“Hamid bin Zaid, kamu jadi imam Tarawih!” kata Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Habib Hamid tidak merasa namanya yang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin ditunjuk menjadi
imam. Sementara di situ banyak ulama besar yang pasti lebih layak menjadi imam shalat tarawih.
Sekali lagi Sayyid Muhammad Al-Maliki memanggil Habib Hamid.”Hamid bin Zaid, kamu yang akan
menjadi imam.”
(“Sulit dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara di belakang saya ada
Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya gemetar. Membaca surah Al-Fatihah
yang biasanya lancar di luar kepala pun, menjadi terasa sanagt sulit. Alhamdulillah…..saya mampu
melewati ujian berat itu dengan baik, meskipun harus gemetaran.”)
Selesai shalat tarawih, Sayyid Muhammad Al-Maliki membaca shalawat dan qasidah. “Menurut
murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau selalu membaca Qasidah Sayyidah Khadijah
Al-Kubra. Beliau juga sering berziarah ke makam istri pertama Nabi saw bersama keluarganya.
Sebelum meninggalkan masjid, beliau memanggil dan menyuruh saya umrah malam itu juga.”
“Sebelum saya berangkat umrah, Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia. Beliau ingin
berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan murid-muridnya. Tapi waktunya belum
tepat, beliau bilang, kesibukan menulis buku dan pertemuan dengan para ulama Mekah, sangat
menyita waktunya.”
Pada 10 Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat tarawih bersama dan untuk
kedua kalinya menyuruhnya umrah. “Ajaklah istrimu untuk umrah dan kembalilah untuk shalat
shubuh berjamaah, pesan Abuya sebelum saya berangkat umrah. Saya pun berpamitan sambil
meminta izin untuk pergi ke Jeddah, sekadar silaturrahmi ke saudara-saudara istri saya. Abuya
hanya memberi izin dengan isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin
mengizinkan saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak pergi
ke Jeddah.”
Pagi hari tanggal 11 Ramadhan, Habib Hamid shalat Subuh bersama bersama Sayyid Muhamad Al-
Maliki. Beliau terkejut saat saya berada di sampingnya.
“Kamu tidak jadi pergi ke Jeddah?” tanyanya.
“Tidak Abuya” sahut Habib Hamid.
“Bagus!” jawab Abuya sambil memeluknya.
Malamnya, seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat tarawih yang diakhiri dengan
membaca qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Malam itu juga, Habib Hamid mendapat perintah
Sayyid Muhammad Al-Maliki untuk umrah yang ketiga kalinya.
“Pada 12 Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang keempat kalinya.
Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan saya memang tak enak saat beliau
mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya rencana lain untuk saya besok.”
Rabu 13 Ramadhan, untuk kedua kalinya, Habib Hamid ditunjuk menjadi Imam Tarawih oleh Sayyid
Muhammad Al-Maliki. Saat itu jemaanya sekitar 200 orang, sebagian besar adalah tamu-tamu
Abuya. “Malam itu, beliau merasa letih dan kakinya kesemutan.” Cerita Habib Hamid. Di luar
kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca sholawat dan qasidah. Beliau meminta murid-
muridnya, Bilal, Burhan, Aqil Al-Aththas dan satu murid asal Kenya, membacakan secara bergantian.
Sayyid Muhammad Al-Maliki kelihatan sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24 jam
terjaga. Tamunya tak pernah berhenti mengalir, dan di sela waktu luangnya, masih tekun menulis dan
membaca buku. Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya juga
penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. “Abuya juga punya kebun
buah yang cukup luas.” Kata Habib Hamid.
Akhirnya, Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan.
Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya perlu istirahat di rumah sakit. Pada kamis 14
Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk.
” Apa kabar Hamid bin Zaid ? kamu betah disini ?” tanya Abuya ambil memandangku. Seperti
biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak seperti orang yang sedang sakit.
” Kami tidak lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma’la, ke
makam Syyidah Khodijah Al-Kubra. Ziarah kali ini aneh. Biasanya istri Abuya tidak pernah turun dari
mobil. Beliau membaca sholawat dan qasidah dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau dan semua
anggota keluarga bersama-sama membaca Al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah saw.”
Ungkap Habib Hamid.
Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tidak berubah, tetap
gembira, seperti tidak sedang sakit. ” Sekitar jam 20.00. dokter datang, dan mengatakan Abuya sudah
sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!”
Saat Bulan Purnama Tersaput Awan
Di luar rumah sakit sesaat kemudian, Sayyid Muhammad Al-Maliki meminta izin kepada dokter untuk
menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum
masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya,
” Ada apa, Abuya ?” Beliau menjawab, ” tidak ada apa-apa” .
Saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup awan.
“Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu meminta agar murid-muridnya melihat
bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan ?”
Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui murid-
murinya. Saat itu jam 03.00. “Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang
Sayyid Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu
terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar,” cerita Habib Hamid sambil
mengenang peristiwa penting itu.
Pertemuan malam itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya, Abuya sempat bertemu
kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya dengan tiga buah kurma dan air zamzam.
” Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap shalat shubuh. Beliau sendiri masuk
ke kamar kerjanya.”
Di kamar itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat itulah, Sayyid
Muhammad Al-Maliki tiba-tiba bertanya kepada Burhan. ” Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di
kursi atau di Bumi ( maksudnya karpet ) ?”
“Terserah Abuya.” Sahut Burhan bingung, karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana
mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya ?
“Saya akan istirahat di bumi saja.” Kata Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat mengambil buku dari
tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu Beliau menengadah menyebut, “Lailaaha
illallah….”
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un………..” hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari tepat tanggal
15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka kehidupan, Sayyid
Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani wafat.
Jenazah almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menyuruh semua keluarga dan murid-
murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren. Tepat seusai shalat subuh, ambulan rumah sakit
yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. “Saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan
saya dengan beliau hanya untuk mengantarkan jenazahnya ke Ma’la, tempat beliau di makamkan,
dekat dengan makam Sayyidah Khadijah Al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai shalat
tarawih.”
Pemakaman Sayyid Muhammad Al-Maliki
Jum’at petang persis menjelang malam Nuzulul Qur’an, di Masjidil Haram, Mekah, jenazah Sayyid
Muhammad Al-Maliki di sholatkan. Dengan iringan tahlil dan tasbih (suatu amalan yang jarang
dilakukan, karena dianggap bid’ah bagi kaum Wahabi), sekitar 25 000 muslimin Mekah dan
sekitarnya mengantarkan jenazah Ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini (menurut cerita, bagi
orang-orang yang menggotong jenazah / berdekatan dengan jenazah, mereka mencium aroma harum
yang wangi). Sepanjang jalan yang dilewati konvoi dan iring-iringan, orang berjubel keluar rumah dan
toko, memberikan penghormatan terakhir pada ulama yang pernah beberapa tahun mengisi pengajian
di Masjidil Haram ini. Sebagian besar ada yang mematikan lampu, tanda memberi hormat. Ada
seorang pria berkulit hitam berteriak histeris karena tekanan duka dan bela sungkawa itu.
Bahkan pangeran Sultan bin Abdul aziz, perdana menteri dua Kerajaan Arab Saudi yang juga
merangkap menteri pertahanan dan penerbangan sipil, menyempatkan bertakziah, mewakili raja Fahd,
pada hari ke empat di Rushayfah. Pangeran Sultan yang didampingi Gubernur Mekah, Pangeran Abdul
Majid dan sejumlah pejabat tinggi negara.
“Alah swt telah memilihkan hari yang baik dan bulan yang baik buat Syekh Muhammad Al-Maliki.
Sebab pada bulan ini, Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk melaksanakan ibadah sebanyak-
banyaknya.” Kata Pangeran Sultan seperti dikutip harian Al-Wathan.
Putra mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, Kamis 4 November 2004, berkenan menerima
keluarga Sayyid Muhammad Al-Maliki di istana Ash-Shafa, Mekah. Pangeran Abdullah sempat
mendoa’kan Sayyid Muhammad Al-Maliki dan menyebut beliau sebagai Ulama kebanggan Arab
Saudi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar