Disebut Al-Bantani karena ia berasal dari
Banten, Indonesia. Beliau bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual
yang sangat produktif dalam menulis kitab, meliputi fiqh, tauhid,
tasawwuf, tafsir, dan hadits. Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab.
ULAMA PESANTREN YANG MENDUNIA
Nama Syaikh Nawawi Al-Bantani tentu sudah tidak asing lagi bagi umat Islam
Indonesia. Lebih-lebih kalangan santri dan Pesantren. Nama Beliau
bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik
madzhab Syafi’i, yaitu Imam Nawawi (wafat 676 H/l277 M).
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional
yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syaikh asal Banten ini
seakan masih hidup dan terus menyertai umat dengan memberikan wejangan
ajaran Islam yang menyejukkan.
Di berbagai majlis ta’lim,
utamanya di Pesantren, karyanya kerap dijadikan rujukan utama untuk
berbagai fan ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawwuf sampai tafsir.
Karya-karya Syaikh Nawawi Al-Bantani sangat berjasa dalam mengarahkan
mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga Pendidikan
Islam Pesantren.
Di kalangan komunitas Pesantren Syaikh Nawawi
tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah
mahaguru sejati (the great scholar). Syaikh Nawawi Al-Bantani telah
banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis
tradisi keilmuan di lembaga pendidikan Pesantren. Ia turut banyak
membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri Pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdhatul Ulama
(NU).
Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh
yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syaikh
Nawawi Al-Bantani adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian
kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari
bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syaikh Nawawi Al-Bantani,
kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan
beliau terhadap Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Figur ulama seperti
Syaikh Nawawi Al-Bantani merupakan sosok ulama yang memegang teguh dalam
mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang
tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam
pembentukan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan
pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani terhadap para tokoh ulama di
Indonesia, sehingga beliau dapat dikatakan sebagai poros dari akar
tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini
diuraikan sosok sang Kyai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang
kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan
para muridnya di Pesantren-pesantren.
KELAHIRAN
Syaikh
Nawawi lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin
Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat.
Lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa,
Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, Desa
Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani)
pada tahun 1230 H atau 1813 M.
Ayahnya bernama Kyai Umar,
seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Ibunya bernama Zubaedah.
Dari silsilahnya, Syaikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang
ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon),
yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang
bernama Sunya Raras (Tajul ‘Arsy), yang makamnya hanya berjarak 500
meter dari bekas kediaman beliau di Tanara. Nasabnya bersambung dengan
Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Muhammad
Al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husein, Fatimah Az-Zahra.
PENDIDIKAN
Semenjak kecil Syaikh Nawawi memang terkenal cerdas. Otaknya dengan
mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5
tahun. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung.
Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang
ayah mengirimkannya ke berbagai Pesantren di Jawa. Beliau mula-mula
mendapat bimbingan langsung dari ayahnya (yang sehari-harinya menjadi
penghulu Kecamatan Tanara), kemudian berguru kepada Kyai Sahal, Banten;
setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia
beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar
banyak orang. Sampai kemudian karena karomahnya yang telah mengkilap
sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa
mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia 15
tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal
di Mekkah, seperti Syaikh Khâtib As-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf
Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh
Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib
Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi.
Tapi guru yang paling
berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi
dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekkah. Lewat ketiga Syaikh
inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain
yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad
Khâtib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
NASIONALISME
Tiga tahun bermukim di Mekkah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah
air beliau menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan,
kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia
melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak
ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan
perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi
gerak-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan
belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang
ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan
Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki
komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa
boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekkah, tepat
ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama
Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan
Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck
Hourgronje.
Begitu sampai di Mekkah beliau segera kembali
memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama
30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau
berketetapan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk
menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur
ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekkah. Beliau mengajar di halaman
rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin banyak
jumlahnya. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam
ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti
Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib Al-Minangkabawi. Sejak itulah beliau
dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi.’ Artinya
Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai
ulama. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja beliau dikenal,
bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya
ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Mesir negara yang
pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Syaikh
Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan
para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekkah. Di
sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya.
Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak
ayal, Belanda pun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekkah untuk menemui
beliau.
Ketika Snouck --yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-- bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab.”
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa."
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu
mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama
yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi
kepentingan agama dan bangsa. Banyak muridnya yang di belakang hari
menjadi ulama, misalnya KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama),
KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Kholil Bangkalan, KH.
Asnawi Kudus, KH. Tb. Bakrie Purwakarta, KH. Arsyad Thawil, dan
lain-lainnya.
Konon, KH. Hasyim Asy’ari saat mengajar
santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca
kitab fiqih Fath Al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan
terhadap gurunya itu amat mendalam di hati KH. Hasyim Asy’ari hingga
haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath Al-Qarib ia ajarkan
pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi menikah
dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak:
Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.
GELAR-GELAR
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya
yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai
Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya
sebagai Al-Imam wa Al-Fahm Al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman
yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang
luar biasa sebagai As-Sayyid Al-‘Ulama Al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz).
Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut
Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak
Kitab Kuning Indonesia.
TOKOH UTAMA KITAB KUNING INDONESIA
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning
Indonesia. Sebut misalnya, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Abdul Shamad
Al-Palimbani, Syaikh Yusuf Makasar, Syaikh Syamsudin Sumatrani, Hamzah
Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syaikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syaikh
Muhammad Mahfudz At-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang
diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di
beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama
Syaikh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya (Bapak
Kitab Kuning Indonesia).
Dia layak menempati posisi itu karena
hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air,
bahkan di luar negeri.
KARYA-KARYA
Kepakaran beliau tidak
diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh Umar Abdul Jabbâr dalam
kitabnya "Ad-Durûs min Mâdhi At-Ta’lîm wa Hadhirih bi Al-Masjidil
Al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan
Masa Kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat
produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi
berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau
komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh
Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
Ats-Tsamâr Al-Yâni’ah Syarah Ar-Riyâdh Al-Badî’ah, karya Syaikh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
Al-‘Aqd Ats-Tsamîn Syarah Fath Al-Mubîn
Sullam Al-Munâjah Syarah Safînah Ash-Shalâh, karya Abdullah ibn Umar Al-Hadrami
Baĥjah Al-Wasâil Syarah Ar-Risâlah Al-Jâmi’ah Bayn Al-Usûl wa Al-Fiqh wa At-Tasawwuf, karya Sayyid Ahmad ibn Zein Al-Habsyi
At-Tausyîh/Quwt Al-Habîb Al-Gharîb Syarah Fath Al-Qarîb Al-Mujîb, karya Muhammad ibn Qasyim Asy-Syafi’i
Niĥâyah Az-Zayyin Syarah Qurrah Al-‘Ain bi Muĥimmâh Ad-Dîn, karya Zainuddin Abdul Aziz Al-Maliburi.
Marâqi Al-‘Ubûdiyyah Syarah Matan Bidâyah Al-Ĥidâyah, karya Abu Hamid ibn Muhammad Al-Ghazali
Nashâih Al-‘Ibâd Syarah Al-Manbaĥâtu ‘Ala Al-Isti’dâd li Yaum Al-Mi’âd, karya Imam Abi Laits.
Salâlim Al-Fudhalâ΄ Syarah Mandhûmah Ĥidâyah Al-Azkiyâ, karya Zaenuddin ibn Al-Ma’bari Al-Malibari
Qâmi’u At-Thugyân Syarah Mandhûmah Syu’bu Al-Imân, karya Syaikh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad Al-Malibari
At-Tafsir Al-Munîr li Al-Mu’âlim Al-Tanzîl Al-Mufassir ‘an Wujûĥ
Mahâsin At-Ta΄wil Musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
Kasyf Al-Marûthiyyah Syarah Matan Al-Jurumiyyah
Fath Al-Ghâfir Al-Khathiyyah Syarah Nadham Al-Jurumiyyah Musammâ Al-Kawâkib Al-Jaliyyah
Nur Adh-Dhalâm ‘Ala Mandhûmah Al-Musammâh bi ‘Aqîdah Al-‘Awwâm
Tanqîh Al-Qaul Al-Hadîts Syarah Lubâb Al-Hadîts, karya Al-Hafizh Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar As-Sayuthi
Madârij Al-Shu’ûd syarah Maulid Al-Barzanji
Targhîb Al-Mustâqîn Syarah Mandhûmah Maulid Al-Barzanjî
Fath Ash-Shamad Al-‘Âlam Syarah Maulid Syarif Al-‘Anâm
Fath Al-Majîd Syarah Ad-Durr Al-Farîd
Tîjân Ad-Darâry Syarah Matan Al-Baijûry
Fath Al-Mujîb Syarah Mukhtashar Al-Khathîb
Murâqah Shu’ûd At-Tashdîq Syarah Sulam At-Taufîq, karya Syaikh Abdullah ibn Husein ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’alawi
Kâsyifah As-Sajâ Syarah Safînah An-Najâh, karya Syaikh Salim ibn Sumair Al-Hadhrami
Al-Futûhâh Al-Madaniyyah Syarah Asy-Syu’ba Al-Îmâniyyah
‘Uqûd Al-Lujain fi Bayân Huqûq Al-Zaujain
Qathr Al-Ghais Syarah Masâil Abî Al-Laits
Naqâwah Al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
An-Naĥjah Al-Jayyidah Syarah Naqâwah Al-‘Aqîdah
Sulûk Al-Jâdah syarah Lam’ah Al-Mafâdah fi Bayân Al-Jumu’ah wa Al-Mu’âdah
Hilyah Ash-Shibyân Syarah Fath Ar-Rahman
Al-Fushûsh Al-Yâqutiyyah ‘Ala Ar-Raudhah Al-Baĥîyyah fi Abwâb At-Tashrîfiyyah
Ar-Riyâdh Al-Fauliyyah
Mishbâh Adh-Dhalâm’Ala Minĥaj Al-Atamma fi Tabwîb Al-Hukm
Dzariyy’ah Al-Yaqîn ‘Ala Umm Al-Barâĥîn fi At-Tauhîd
Al-Ibrîz Al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad As-Sayyid Al-Adnâny
Baghyah Al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid Al-Anâm
Ad-Durrur Al-Baĥiyyah fi Syarah Al-Khashâish An-Nabawiyyah
Lubâb Al-Bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, Al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang
mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn
As-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn Al-Mahâlli yang sangat terkenal itu.
Sementara Kâsyifah As-Sajâ Syarah merupakan syarah atau komentar
terhadap kitab fiqih Safînah An-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir
Al-Hadhrami. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang
matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah
misalnya Tîjân Ad-Darâri, Nûr Adh-Dhalam, Fath Al-Majîd.
Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih Al-Qaul. Karya-karya
beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam Al-Munâjah, Niĥâyah Az-Zain,
Kâsyifah As-Sajâ. Adapun Qâmi’u Ath-Thugyân, Nashâih Al-‘Ibâd dan Minhâj
Ar-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqh karya
beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri Pesantren di Jawa,
yaitu Syarah ’Uqûd Al-Lujain fi Bayân Huqûq Al-Zaujain. Hampir semua
Pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama
di bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang
ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara
rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir
seabad.
Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan
digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab
tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi
syarah atau komentar bahkan kritik-mengkritik terhadap karya beliau,
tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Dalam menyusun karyanya Syaikh Nawawi selalu berkonsultasi dengan
ulama-ulama besar lainnya. Sebelum dicetak, naskahnya terlebih dahulu
dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan
seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat
dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia
sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama
Syaikh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di
abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan
‘Ulama’ Al-Qarn Ar-Ram’ ‘Asyar Li Al-Hijrah, AI-Imam Al-Mullaqqiq wa
Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz.
Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di Mesir (Dhafier, 86):
Syarah Al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881.
Lubab Al-Bayyan (1884).
Dhariyat Al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syaikh Sanusi, terbit tahun 1886.
Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya Ad-Durr Al-Farid, karya Syaikh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
Dua jilid komentar tentang syair maulid karya Al-Barzanji. Karya ini
sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid.
Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan Al-Barzanji.
Syarah tentang syair Asmaul Husna.
Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
Syarah Suluk Al-Jiddah (1883)
Syarah Sullam Al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah.
Tafsir Murah Labib.
Syaikh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya
menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas
atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang
bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh
dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang
menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal.
Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat
persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya
dengan ulama Al-Azhar.
Di Indonesia khususnya di kalangan
Pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian
Islam Syaikh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara
luas dipelajari di Pesantren-pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga
tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian
para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau
paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri.
Beberapa karya ilmiah tentang Syaikh Nawawi yang ditulis sarjana kita antara lain:
Ahmad Asnawi, Pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani tentang Af’al Al-’Ibad
(Perbuatan Manusia), (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984).
Ahmad Asnawi, Penafsiran Syaikh Muhammad Nawawi tentang Ayat-ayat Qadar. (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1987).
Hazbini, Kitab Ilmu Tafsir Karya Syaikh Muhammad Nawawi, (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1996).
MA Tihami, Pemikiran Fiqh Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1998).
Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: Analysisof Nawawi Al-Bantani’s
Salalim Al-Fudhala, (Tesis Magister Mc Gill University, Kanada, 1992).
Muslim Ibrahim Abdur Rauf, Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi: Hayatuhu
wa Atsaruhu fi Al-Fiqh Al-Islami. (Tesis Magister, Al-Azhar University,
Kairo, 1979).
BIDANG TEOLOGI
Karya-karya besar Nawawi yang
gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya
terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang yakni bidang tafsir, tauhid,
fiqh, tasawwuf, sejarah Nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang
ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya
satu kitab.
Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat
jadikan bukti bahwa memang Syaikh Nawawi adalah seorang penulis
produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan
Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Syaikh Nawawi yang tersebar membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syaikh
Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (Al-Asy’ari
Al-I’tiqadi). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang
ini di antaranya Fath Al-Majid, Tijan Ad-Durari, Nur Al-Dzulam,
Al-Futuhat Al-Madaniyah, Ats-Tsumar Al-Yaniah, Bahjat Al-Wasail,
Kasyifah As-Saja dan Mirqat As-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip
pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syaikh Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi. Sebagai penganut Asy’ariyah, Syaikh Nawawi banyak
memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus
mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari
perbuatannya (his act), karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya.
Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian: wajib, mustahil dan mumkin.
Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil
tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada
Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh
ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Syaikh Nawawi bukan orang pertama
yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia
Syaikh Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asy’ari
sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian
mengenai dalil naqli dan ‘aqli, menurutnya harus digunakan bersama-sama,
tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql
harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang
terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui
oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan
kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih
pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu
diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (absolutenes of
god). Sebagaimana teolog Asy’ari lainnya, Syaikh Nawawi menempatkan
dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua
aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabariyah, sebagaimana dianut oleh
Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan
tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep Jabariyah yang meyakini
bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan
tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan
apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Syaikh Nawawi
telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam
bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep
absolutisme Jabariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi
Asy’ariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan
kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda
seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat
melawannya, bahkan daerah yang bukan Asy’ariyah pun turut terkena.
Dalam konteks Islam Jawa teologi Asy’ariyah dalam kadar tertentu
sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain
setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada
Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah.
Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah
letak peranan Syaikh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asy’ariyahnya
yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam
“koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Syaikh Nawawi sering
memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim)
haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai
oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada
mereka.
Sementara di bidang fiqh tidak berlebihan jika Syaikh
Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab Imam Syafi’i untuk konteks
Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat An-Naja,
Syarh Sullam At-Taufiq, Nihayat Az-Zain fi Irsyad Al-Mubtadi’in dan
Tasyrih Ala Fathul Qarib, sehingga Syaikh Nawawi berhasil memperkenalkan
madzhab Syafi’i secara sempurna.
Atas dedikasi Syaikh Nawawi
yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis, mendapat
apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah
tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan
tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas
Al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di
suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena
nama Syaikh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah
banyak tersebar di Mesir.
KAROMAH SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI
1. Telunjuk Menjadi Lampu
Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan
menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah
perjalanan.
Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni
rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi
tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon
kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi
jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama
Marâqi Al-‘Ubudiyyah Syarah Matan Bidâyah Al-Hidayah itu harus dibayar
beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan
Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak
hilang.
2. Membetulkan Arah Kiblat
Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan.
Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah SAW,
Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya Al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi
(sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah.
Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân
sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak
dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân.
Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap
berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi
remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak
bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan
keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsmân.
Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.
“Lihatlah
Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah!
Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini
agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat
menghadap ke Ka΄bah," Ujar Syaikh Nawawi remaja.
Sayyid Utsmân
termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi
remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari,
remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai
kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karomah itu, di mana
pun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid
Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita
mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai
aslinya.
3. Mayat Tetap Utuh
Telah menjadi kebijakan
Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun
kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan
disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang
itu dikuburkan di tempat lain di luar kota.
Lubang kubur yang
dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus
silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun
dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama
terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh
Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas
dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah
hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang
belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang
masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda
pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain
putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk
sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas.
Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang
telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa
makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis
lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad
beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam
beliau tetap berada di Ma΄la, Mekkah.
Demikianlah karomah
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya
sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala
berlimpah pada beliau.
4. Tidur Di Lidah Ular
Konon pada
suatu malam di mana beliau melanjutkan perjalanannya ke Mekkah, beliau
kelelahan dan mencari sebuah gubuk yang tak berpenghuni atau saung.
Setelah mencari-cari akhirnya beliau menemukan lampu yang sangat redup
dan kecil. Akhirnya beliau tiba di suatu tempat tersebut dan memulai
untuk beristirahat. Dalam hati beliau bertanya:
“Kok dasar saung ini sangat lembut dan empuk ya??”
Saking lelahnya beliau tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut.
Tidurlah beliau dengan meletakkan tongkatnya dalam posisi berdiri.
Pagi pun datang dan beliau terbangun dari tidurnya untuk shalat dan
kemudian melanjutkan perjalanannya. Setelah kurang lebih 7 langkah dari
tempat peristirahatannya itu, beliau menyentuh darah dari ujung
tongkatnya tersebut. Dengan heran kemudian beliau menoleh ke belakang
dan menemui ular raksasa yang sedang beranjak pergi. Tanpa disadari
ternyata semalam beliau tidur di lidah seekor ular raksasa dan
tongkatnya yang berposisi berdiri tersebut merintangi kedua gigi ular
itu.
Beliau pun langsung menyebut kalimat istighfar dan memuji kebesaran Allah SWT dengan mengucapkan kalimat kebesaran-Nya.
5. Mengeluarkan Buah Rambutan Dari Tangannya
Di Mekkah beliau mendirikan tempat mengajar/sekolah dengan murid yang
lumayan banyak. Di suatu hari beliau menerangkan kepada para
santri-santrinya.
Syaikh Nawawi:
“Sunnah Islam kalau
berbuka puasa itu hendaknya memakan yang manis-manis terlebih dahulu,
kalau di sini terdapat buah kurma, di tempatku ada yang tidak kalah
manisnya dengan kurma!!”
Santri-santri:
"Betul Syaikh kalo di tempat kami kurma. Lalu bagaimana dengan tempat Syaikh yang tidak tumbuh buah kurma?”
Syaikh Nawawi:
“Sebentar.”
Syaikh Nawawi langsung menyembunyikan tanganya ke belakang tubuhnya.
Santri-santri pun sangat heran apa yang dilakukan gurunya tersebut dan
terdengar di telinga para santri-santri suara seperti orang yang sedang
mengambil buah-buahan dari pohonnya.
Kemudian Syaikh Nawawi
menyuguhkan buah Rambutan yang persis seperti baru diambil dari
pohonnya. Para santri pun sangat terheran-heran dengan apa yang
dilakukan oleh gurunya tersebut.
“Nah ini yang aku makan
pertama ketika berbuka puasa di tempatku. Silahkan dicicipi!” Kata
Syaikh Nawawi sambil membagikanya kepada para santri di kelasnya
mengajar.
Para santri pun langsung mencicipi dan sangat menikmati kemanisan buah rambutan yang diberikan gurunya itu.
6. Kitab Tafsir Munir
Karomah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita
membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir
fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman
Allah SWT. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqh, Kâsyifah
As-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam
kitab Nashâih Al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus
menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.
IMAM NAWAWI KEDUA (ATS-TSANI)
Nama Imam Nawawi begitu dominan, terutama dalam lingkungan ulama-ulama
Syafi’iyah. Beliau sangat terkenal karena banyak karangannya yang dikaji
pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Nama ini adalah milik
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu bin Birri bin Hasan bin Husaini
Mukhyiddin An-Nawawi Asy-Syafi’i yang dilahirkan di Nawa sebuah distrik
di Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H.
Pada
penghujung abad ke-18, tepatnya tahun 1230 H/1813 M lahir pula seorang
yang bernama Nawawi di Banten, Jawa Barat. Setelah dia menuntut ilmu
yang sangat banyak, mensyarah kitab-kitab bahasa Arab dalam pelbagai
disiplin ilmu yang sangat banyak pula, maka dia digelar Imam Nawawi
Ats-Tsani, artinya Imam Nawawi Yang Kedua. Orang pertama memberi gelar
tersebut adalah Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani.
Gelar yang diungkapkan oleh Syaikh Ahmad Al-Fathani dalam seuntai
gubahan syairnya itu akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis
riwayat ulama yang berasal dari Banten itu. Sekian banyak ulama dunia
Islam sejak sesudah Imam Nawawi yang pertama (wafat 676 Hijrah/1277
Masehi) sampai sekarang ini belum ada orang lain yang mendapat gelar
Imam Nawawi Ats-Tsani, kecuali Syaikh Nawawi, ulama kelahiran Banten
yang dibicarakan ini.
Rasanya gelar tersebut memang dipandang
layak. Tidak ada ulama sezaman dengannya maupun sesudahnya yang
mempertikai autoritinya dalam bidang ilmiah keislaman menurut metode
tradisional yang telah ada sepanjang zaman dan berkesinambungan.
TOKOH SUFI QADIRIYAH
Syaikh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah,
yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (wafat 561 H/
1166M).
Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis
belum mendapatkan bahan rujukan yang memuaskan tentang Syaikh Nawawi
Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan
Qadiriyah wa Naqshabandiyah.
Padahal, pembacaan sejak lama
kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi
kuatnya tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syaikh, terjemahan salah
satu versi Manaqib, Khulashah Al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib
Asy-Syaikh ‘Abd Al-Qadir karangan ‘Afifuddin Al-Yafi’i (wafat 1367 M),
sangat boleh jadi dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya
bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan abad ke-18,
Sultan Banten Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari
diri Al-Qadiri.
SUFI BRILIAN
Sejauh itu dalam bidang
tasawwuf, Syaikh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia
bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia
memiliki konsep yang identik dengan tasawwuf ortodok. Dari karyanya saja
Syaikh Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian. Ia banyak memiliki
tulisan di bidang tasawwuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar
bagi seorang sufi.
Brockleman, seorang penulis dari Belanda
mencatat ada 3 karya Syaikh Nawawi yang dapat merepresentasikan
pandangan tasawwufnya, yaitu: Misbah Az-Zulam, Qami’ Ath-Thugyan dan
Salalim Al-Fudhala. Di sana Syaikh Nawawi banyak sekali merujuk kitab
Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting
bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawwufnya meski tidak
tergantung pada gurunya Syaikh Khatib Sambas (seorang ulama tasawwuf
asal Jawi) yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut
menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan
antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat.
Untuk
memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Syaikh Nawawi mengibaratkan
syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat
merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar
di laut. Dalam proses pengamalannya, syariat (hukum) dan tarekat
merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara
hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syaikh Nawawi tidak menolak praktek-praktek
tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep
tasawwufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap
pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang digunakan tidak
jauh dari rumusan ulama tasawwuf klasik. Model paparan tasawwuf inilah
yang membuat Syaikh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia
lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi
tasawwuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri,
Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
WAFAT
Masa selama 69 tahun
mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan
pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh
Nawawi Al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syi’ib Ali, sebuah
kawasan di pinggiran kota Mekkah pada tanggal 25 Syawal 1314 H/ 1897 M.
Namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, dua kitab yang membahas
tokoh dan guru yang berpengaruh di dunia Islam, ia wafat pada 1316 H/
1898 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekkah. Makam beliau
bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar Ash-Shiddîq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar