Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar
dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal
571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang
“bidan” yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf.
“Bayimu laki-laki!”
Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang
suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan
sebelumnya. Ya, bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad
(Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di
Yatsrib ketika beliau berusia tiga bulan dalam kandungan ibundanya.
Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, “Bukankah Dia
mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” — QS
Adh-Dhuha (93): 6.
Aminah, janda beranak satu itu, hidup
miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak,
Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan
bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita
lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan
mempelajari bahasa Arab yang baku.
Ada hadits yang mengatakan,
kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga. Menunggu jasa
wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga
hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi
Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira
atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.
Air Susu yang Melimpah
Beberapa hari kemudian, datanglah kafilah dari dusun Bani Sa’ad, dusun
yang jauh dari kota Makkah. Mereka menaiki unta dan keledai. Di antara
mereka ada sepasang suami-istri, Harits bin Abdul Uzza dan Halimah
As-Sa’diyah. Harits menaiki unta betina tua renta dan Halimah menaiki
keledai yang kurus kering. Keduanya sudah memacu kendaraannya melaju,
tetapi tetap saja tertinggal dari teman-temannya.
Halimah dan
wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa
menyusui bayi bangsawan Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan
modern, baby sitter akan mendapatkan bayaran yang tinggi bila dapat
mengasuh bayi dari keluarga kaya.
Sampai di kota Makkah,
Halimah menjadi cemas, sebab beberapa wanita Bani Sa’ad yang tiba lebih
dulu sedang ancang-ancang mudik karena sudah berhasil membawa bayi asuh
mereka.
Setelah ia ke sana-kemari, akhirnya ada juga seorang
ibu, yaitu Aminah, yang menawarkan bayinya untuk disusui. Namun ketika
mengetahui keadaan ibu muda yang miskin itu, Halimah langsung menampik.
Dia dan suaminya berkeliling kota Makkah, tetapi tidak ada satu pun ibu
yang menyerahkan bayinya kepadanya untuk disusui. Ya, bagaimana mereka
percaya, seorang ibu kurus yang naik keledai kurus pula akan mengasuh
dengan baik bayi mereka?
Hampir saja Halimah putus asa,
ditambah lagi suaminya sudah mengajaknya pulang meski tidak membawa bayi
asuh. Namun, ia berkata kepada suaminya, “Aku tidak ingin pulang dengan
tangan kosong. Alangkah baiknya kalau kita mau mengambil anak yatim itu
sambil berniat menolong.”
“Baiklah, kita bawa saja anak yatim
itu, semoga Allah memberkahi kehidupan kita,” ujar suaminya. Setelah ada
kesepakatan tentang harga upah menyusui, Muhammad kecil diberikan
kepada Halimah. Wanita kurus kering itu pun mencoba memberikan puting
susunya kepada bayi mungil tersebut.
Subhanallah! Kantung
susunya membesar, dan kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang
bayi mengisapnya hingga kenyang. Dia heran, selama ini susunya sendiri
sering kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi
sekarang kok justru berlimpah, sehingga cukup untuk diberikan kepada
bayi kandung dan bayi asuhnya?
Berbarengan dengan keanehan yang
dialami Halimah, suaminya juga dibuat heran, tak habis pikir, mengapa
unta betina tua renta itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh
air susu.
Halimah turun dari. keledainya, dan terus memerah
susu itu. Dia dan suaminya sudah dalam keadaan lapar dan dahaga. Mereka
meminumnya sehingga kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka
yakin, “Anak yatim ini benar-benar membawa berkah yang tak terduga.”
Halimah menaiki dan memacu keledainya. Ajaib! Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang mudik lebih dulu.
“Halimah! Halimah! Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu
melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu berangkat ke
Makkah ia amat lamban,” temannya berseru. Halimah sendiri bingung, dan
tidak bisa memberikan jawaban kepada teman-temannya.
Sampai di
rumah pun, anak-anaknya senang, sebab orangtua mereka pulang lebih awal
dari orang sekampungnya. Apalagi kemudian ayah mereka membawa air susu
cukup banyak, yang tiada lain air susu unta tua renta yang kurus kering
itu.
Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah
total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat,
keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian,
kegembiraan, dan serba kecukupan.
Domba-domba yang mereka
pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput
di daerah mereka tetap gersang. Keajaiban lagi!
Peternakan
domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik
tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan
sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan
domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun hasilnya
tetap saja sama, domba para tetangga
itu tetap kurus kering.
Pembelahan Dada
Muhammad kecil disusui Halimah sekitar dua tahun. Oleh Halimah, bayi
itu dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Namun ibunya mengharapkan agar
Muhammad tetap ikut dirinya, sebab ia khawatir bayi yang sehat dan
montok tersebut menjadi terganggu kesehatannya jika hidup di Makkah,
yang kering dan kotor.
Maka Muhammad kecil pun dibawa kembali
oleh Halimah ke dusun Bani Sa’ad. Bayi itu menjadi balita, dan telah
mampu mengikuti saudara-saudaranya menggembala domba. Ingat, hampir
semua nabi pernah menjadi penggembala. Muhammad saat itu sudah berusia
empat tahun dan dapat berlari-lari lepas di padang rumput gurun pasir.
la, bersama Abdullah, anak kandung Halimah, menggembala domba-domba
mereka agak jauh dari rumah.
Di siang hari yang terik itu,
tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa
Muhammad, yang sedang sendirian, ke tempat yang agak jauh dari tempat
penggembalaan. Abdullah pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal
untuk dimakan bersama-sama dengan Muhammad, di tempat menggembala,
karena mereka lupa membawa bekal.
Ketika Abdullah kembali,
Muhammad sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan
berteriak-teriak minta tolong sambil berlari pulang ke rumahnya. Halimah
dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh
mereka mencari Muhammad kesana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka
mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri di pinggir dusun
tersebut.
Halimah langsung bertanya kepada Muhammad, “Mengapa
engkau sampai berada di sini seorang diri?” Muhammad pun bercerita.
“Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang
mendekatiku. Salah seorang berkata kepada kawannya, ‘Inilah anaknya.’
Kawannya menyahut, `Ya, inilah dia!’ Sesudah itu, mereka membawaku ke
sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka
memegang tubuhku dengan kuatnya. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah
itu, mereka mengambil suatu benda hitam dari dalam dadaku dan benda itu
lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka
membuangnya.
Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku
pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini
seorang diri.” Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Halimah
dan suaminya, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap si kecil Muhammad.
Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada Ibunda Amina.
[infokito]
Wallahu a’lam
Wajah Rasulullah
Perlu
kita fahami bahwa wajah Sang Idola saw adalah wajah yang dipenuhi cahaya
kelembutan dan kasih sayang, karena beliau adalah pembawa Rahmat bagi
sekalian alam, maka wajah beliau penuh kasih sayang, demikian pula
ucapan beliau saw, perangai, tingkah laku, dan bahkan bimbingan beliau
saw pun penuh dengan kasih sayang Allah swt.
Seorang lelaki
bertanya kepada Albarra? bin Azib ra : “Apakah wajah Rasul saw seperti
pedang ?” (bukankah beliau banyak berperang, apakah wajahnya bengis bak
penguasa kejam?), maka menjawablah Albarra? bin Azib ra : “Tidak.. tapi
bahkan wajah beliau bagai Bulan Purnama..”, (kiasan tentang betapa
lembutnya wajah beliau yang dipenuhi kasih sayang) (Shahih Bukhari
hadits no.3359, hadits serupa Shahih Ibn Hibban hadits no.6287).
Diriwayatkan oleh Jabir bin samurah ra :“wajah beliau saw bagaikan
Matahari dan Bulan” (Shahih Muslim hadits no.2344, hadits serupa pada
Shahih Ibn Hibban hadits no.6297), demikian pula riwayat Sayyidina
Ali.kw, yang mengatakan : “seakan akan Matahari dan Bulan beredar di
wajah beliau saw”. (Syamail Imam Tirmidzi), demikian pula diriwayatkan
oleh Umar bin khattab ra bahwa “Rasul saw adalah manusia yang bibirnya
paling indah”.
Al Imam Alhafidh Syeikh Abdurrahman Addeba?I
mengumpulkan ciri ciri sang Nabi saw :“Beliau saw itu selalu dipayungi
oleh awan dan diikuti oleh kabut tipis, hidung beliau saw lurus dan
indah, Bibirnya bagaikan huruf Miim (kiasan bahwa bibir beliau tak
terlalu lebar tak pula sempit dan sangat indah), Kedua alisnya bagaikan
huruf Nuun, (kiasan bahwa alis beliau itu tebal dan sangat hitam dan
bersambung antara kiri dan kanannya)”.
Dari Abi Jahiifah ra :
“Para sahabat berebutan mengambil telapak tangan beliau dan
mengusapkannya di wajah mereka, ketika kutaruh telapak tangan beliau saw
diwajahku ternyata telapak tangan beliau saw lebih sejuk dari es dan
lebih wangi dari misik” (Shahih Bukhari hadits no.3360).
Berkata Anas ra : “Tak kutemukan sutra atau kain apapun yang lebih
lembut dari telapak tangan Rasulullah saw, dan tak kutemukan wewangian
yang lebih wangi dari keringat dan tubuh Rasul saw” (Shahih Bukhari
hadits no.3368). “Kami tak melihat suatu pemandangan yg lebih
menakjubkan bagi kami selain Wajah Nabi saw”. (Shahih Bukhari hadits
no.649 dan Muslim hadits no.419)“Ketika perang Uhud wajah Rasul saw
terluka dan mengalirkan darah segar, maka putrinya yaitu Sayyidah
Fathimah ra mengusap darah tersebut dan Sayyidina Ali kw memegangi
beliau saw, namun ketika terlihat darah itu terus mengalir, maka
diambillah tikar dan dibakar, maka debunya ditaburkan diluka itu, maka
darahpun terhenti”. (Shahih Bukhari hadits no.2753).
Dari anas
bin malik ra : “Dan saat itu dirumah hanya aku, ibuku dan bibiku, lalu
selepas shalat beliau berdoa untuk kami dengan kebaikan Dunia dan
Akhirat, lalu Ibuku berkata : “doakan pelayanmu ini wahai Rasulullah..”
(maksudnya Anas ra), maka Rasul saw mendoakanku dan akhir doanya adalah :
“Wahai Allah Perbanyak Hartanya dan keturunannya dan berkahilah”
(Shahih Muslim hadits no.660).
“Dan beliau saw itu adalah
manusia yg terindah wajahnya, dan terindah akhlaknya” (Shahih Bukhari
hadits no.3356) . “Dan beliau saw itu adalah manusia yg termulia dan
manusia yg paling dermawan, dan manusia yang paling berani saw” (Shahih
Bukhari hadits no.5686).
Dari Abu Hurairah ra : “Wahai
Rasulullah.., bila kami memandang wajahmu maka terangkatlah hati kami
dalam puncak kekhusyu’an, bila kami berpisah maka kami teringat
keduniawan, dan mencium istri kami dan bercanda dengan anak anak kami”
(Musnad Ahmad Juz 2 hal.304, hadits no.8030 dan Tafsir Ibn katsir Juz 1
hal.407 dan Juz 4 hal.50).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar